Istinbath (Dec 2018)

RELEVANSI EFISTEMOLOGI MASLAHAH NAJAMUDDIN AT-TUFI DALAM ISTINBATH HUKUM ANAK SEBAGAI MAHKUM ALAIH

  • Zaenudin Mansyur

DOI
https://doi.org/10.20414/ijhi.v17i2.99
Journal volume & issue
Vol. 17, no. 2

Abstract

Read online

Abstract: This paper investigates the relevance of epistemological principles of maslahah initiated by at-Thufi in determining children as mahkum alaih particularly in contemporary muamalah transactions. At-Thufi is consistent with his principle of prioritizing maslahah instead of nash or ijma’ with no beneficial factors since maslahah and mafsadah cases in legal matter can be determined by independents or authorities and Ijma’ cannot become justifying tool for reasoning. His unique statement is extremely relevant to the children’s status as mahkum alaih in contemporary muamalah transactions, namely transaction is within muamalah boundary therefore it is legitimate for under age children to undertake transactions due to their reasoning. Moreover, the purposes or benefits intended are the education to maturate children to carry out transactions and to provide facilitation to do so without leaving the home which are relevant to maslahah initiated by at-Thufi. Furthermore, the relevance of at-Thufi’s thought is not limited to that reasoning authority is prioritized instead of nash` dan ijma`, for instance, child’s reasoning ability is of more importance than waiting for the age of 17 and 18. Similarly, online transactions that are inevitable trends or habits for children in the contemporary age are extremely relevant to at-Thufi’s view that benefits founded by reasoning only work within the boundary of customary traditions. Abstrak: Makalah ini mengakji tentang relevansi prinsip efistemologi maslahah yang digagas at-Thufi dalam penetapan anak sebagai mahkum alaih terutama dalam transaksi muamalah kontemporer. At-Thufi tetap dalam pendiriannya memenangkan maslahah daripada nash atau ijma`yang tidak ada unsur kemaslahatan di dalamnya karena perkara maslahah dan mafsadah dalam soal hukum dapat ditentukan oleh independen atau otoritas akal. Nash dan ijma` tidak bisa menjadi alat konfirmasi terhadap akal. Statemennya yang unik ini sangat relevan dengan status anak yang dijadikan sebagai mahkum alaih dalam transaksi muamalah kontemporer, yaitu transaksi merupakan wilayah muamalah maka anak yang dibawah umur sah-sah saja melakukan transaksi karena kemampuan akal yang dimilikinya. Apalagi tujuan atau kemaslahatan yang dihajatkan adalah edukasi dalam mendewasakan anak untuk melakukan transaksi serta memberikan keringan dalam melakukannya tanpa harus keluar rumah tentu sangat relevan dengan maslahah yang digagas at-Thufi, yaitu menetapkan tujuan lebih penting daripada sarana dalam istinbath hukum. Selanjutnya relevansi pemikiran at-Thufi ini tidak terhenti ketika menyatakan otoritas akal lebih dimenangkan daripada nash` dan ijma`, misalnya kemampuan akal anak lebih penting daripada menunggu usia sampai 17 dan 18 tahun. Begitu juga dalam aktivitas transaksi one line merupakan trend atau kebiasaan yang tidak bisa dihindari oleh anak zaman kontemporer tentu sangat relevan dengan pandangan at-Thufi bahwa kemaslahatan yang diprakarsai oleh akal hanya berlaku dalam wilayah adat kebiasaan.

Keywords