Jurnal Neuroanestesi Indonesia (Oct 2022)
Sindrom Hiperperfusi Serebral
Abstract
Sindrom hiperperfusi serebral (cerebral hyperperfusion syndrome/CHS) adalah kondisi yang relatif jarang terjadi setelah endarterektomi karotis (carotidenarterectomy/CEA) atau stenting arteri karotis (carotid artery stenting/CAS) tetapi berpotensi dapat dicegah. Empat kriteria berikut untuk mendefinisikan CHS pasca-CEA: (1) Kejadian dalam waktu 30 hari pasca-CEA; (2) Fitur klinik seperti onset baru sakit kepala, kejang, hemiparesis, dan skala koma glasgow (GCS) 15 atau fitur radiologis termasuk edema serebral atau perdarahan intraserebral (ICH); (3) Bukti hiperperfusi (didefinisikan sebagai aliran darah serebral [CBF] 100% dari nilai perioperatif) pada studi pencitraan atau tekanan darah sistolik 180 mmHg; dan (4) Tidak ada bukti iskemia serebral baru, oklusi karotis pasca operasi dan penyebab metabolik atau farmakologis. Faktor kunci pada patofisiologi CHS adalah gangguan autoregulasi dan disfungsi baroreseptor, hipertensi kronis, mikroangiopati dan sawar darah otak, pembentukan radikal bebas, derajat beratnya carotid stenosis kronis dan sirkulasi kolateral. Faktor kunci dalam pencegahan dan pengobatan CHS adalah pengendalian tekanan darah, waktu dilakukan operasi karotid, obat-obat anestesi yang digunakan. Penggunaan profilaksis obat anti-epilepsi tidak dianjurkan. Bukti tentang penggunaan salin hipertonik dan manitol tidak kuat tetapi dapat diberikan jika pasien mengalami edema serebral, kortikosteroid dan barbiturat tidak diindikasikan. Hiperventilasi dan sedasi dapat diberikan jika pasien mengalami edema serebral
Keywords