Jurnal Manusia dan Lingkungan (Nov 2009)
DESAKRALISASI RUANG CIKAL BAKAL DI PERMUKIMAN KAUMAN YOGYAKARTA: SEBUAH PERUBAHAN MAKNA RUANG PERMUKIMAN TRADISIONAL DI KOTA (The Desacralisation of Cikal Bakal Space in Kauman Neighborhood of Yogyakarta The changing of Meaning in City’s Tradisional Sett
Abstract
ABSTRAK Kauman Yogyakarta adalah salah satu permukiman tradisional yang punya latar belakang budaya dan agama yang kuat, sampai saat ini permukiman Kauman masih dapat bertahan terhadap desakan pembangunan modern kota ini. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui dan memahami bagaimana para warga permukiman Kauman Yogyakarta mengelola pembangunan dan perubahan-perubahan seperti apa yang dialaminya. Penelitian ini memakai metode fenomenologi Husserl yang menerapkan model penyaringan tiga tahap untuk mencapai hakekat, yaitu deskripsi, eiditis dan transendental. Tercakup pula dalam tulisan ini penjelasan singkat mengenai perkembangan sosial masyarakat Kauman Yogyakarta, yang berfungsi sebagai latar belakang pengetahuan saja. Selanjutnya pada bagian pembahasan dijelaskan secara utuh perubahan makna ruang yang terjadi di permukiman Kauman Yogyakarta yaitu desakralisasi pada ruang cikal bakal permukiman ini. ABSTRACT Kauman Yogyakarta is one of the traditional settlement wich has a strong cultural and religious background. Up to now Kauman Yogyakarta stand still against the pressure of the city’s modern development. The aims of this research are to know and to understand how the people at this area manage the development of their built environment and what kind of changes has been experienced by the people. The phenomenological method use in this research based on Husserlian model, which contain three steps called description reduction, eidetic reduction and transcendental reduction. Include in this paper a short explaination about the social development in Kauman Yogyakarta, this part merely functioned as a background knowledge (for the researcher). At the last part of this paper a comprehensive description about the changing of meaning at the cikal bakal space, or desacralization of cikal bakal space, experienced by the people of Kauman Yogyakarta has been presented.