Jurnal Konstitusi (Jul 2017)
Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata Di Indonesia
Abstract
Dalam penegakan lingkungan hidup melalui pendekatan hak gugat perdata maka pihak penggugat tidak hanya menderita kerugian materiil akan tetapi dapat pula dirugikan atas rusaknya lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya. Pada beberapa putusan perdata di bidang lingkungan hidup ditemukan adanya putusan yang merupakan hal yang baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Dalam hal hak gugat, Pengadilan Negeri Samarinda telah mengakomodir hak gugat warga negara yang dikenal juga dengan citizen lawsuit (action popularis). Apabila gugatan diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maka perkembangannya mengarah pada pro natura yaitu sistem pembuktian yang menerapkan konsep strict liability sehingga KLHK sebagai penggugat tidak perlu lagi membuktikan tentang adanya kesalahan tergugat. Namun demikian tidak seluruh putusan tersebut diikuti dengan hukuman untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak dan/atau tercemar, seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Putusan tersebut belum sejalan dengan ketentuan Pasal 54 UUPPLH yang mewajibkan kepada setiap pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Putusan-putusan pengadilan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup belum memahami dan mengusai perhitungan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu hakim dalam menangani perkara-perkara perdata lingkungan hidup tidak cukup dengan menerapkan ketentuan hukum yang telah ada, namun juga memerlukan suatu judicial activism sebagai upaya untuk mengembangkan hukum lingkungan hidup di Indonesia. In the environmental enforcement approach civil right to sue the plaintiff not only suffered material losses but can also be harmed by the destruction of the environment in the vicinity of his residence. In some civil verdict in the environmental field found any decision which is a new thing in the development of environmental law in Indonesia. In the case of right to sue, Samarinda District Court has accommodated right to sue a citizen also known as citizen lawsuit (action popularis). If the lawsuit filed by the government through the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) then leads to the development of pro natura namely authentication system, which applies the concept of strict liability so KLHK as plaintiffs no longer need to prove the defendant’s guilt. However, not all the decision followed by the penalty to restore the environment that has been damaged and/or contaminated, such as the Tanjung Pinang District Court and District Court of North Jakarta. The verdict is not in line with the provisions of Article 54 UUPPLH which requires that every polluter and/or wrecking the environment for the restoration of the environment. Court decisions indicate that judges in examining and deciding environmental cases not yet understand and master the calculation of recovery costs due to environmental pollution and/or destruction of the environment. Hence judges in handling cases of environmental-civil case is not sufficient to apply the provisions of the existing law, but also requires a judicial activism in an effort to develop environmental law in Indonesia.
Keywords