Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya (Mar 2017)

KONFRONTASI REPUBLIK INDONESIA DENGAN MILITER JEPANG MENJELANG MASUKNYA SEKUTU 1945-1946

  • M. Halwi Dahlan

DOI
https://doi.org/10.30959/patanjala.v9i1.346
Journal volume & issue
Vol. 9, no. 1
pp. 61 – 76

Abstract

Read online

Perlawanan pejuang (laskar, BKR kemudian TKR) dengan militer Jepang di Indonesia ditandai dengan peristiwa perlucutan senjata oleh pejuang tersebut. Berbagai insiden terjadi disebabkan baru saja Jepang memperlihatkan sikap tegas dalam menjajah, tiba-tiba semua berubah dengan sikap menyerah kepada Sekutu. Bagi Indonesia kondisi ini sebenarnya merupakan peluang untuk melengkapi diri dari segi peralatan perang yang akan menjadi aset bagi pasukan perangnya. Tetapi hal itu menjadi sulit karena sesuai aturan hukum perang internasional tentang tawanan perang, selain pasukan Jepang turut diserahkan seluruh peralatan perangnya. Beberapa daerah sempat menerima atau pun merampas persenjataan tersebut, namun kemudian direbut kembali oleh Militer Jepang. Militer Jepang yang mempertahankan senjata mereka dan patuh pada konvensi Jenewa 1929, berhadapan dengan semangat kemerdekaan dari seluruh rakyat Indonesia. Di Jawa Barat insiden perlucutan senjata tersebut sempat terjadi tetapi tidak meluas, berbeda dengan di Jawa Timur yang hampir seluruh pejuangnya memiliki senjata rampasan. Perbedaan tersebut ternyata terletak pada lambatnya informasi yang sampai dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.Jawa Barat diuntungkan karena jaraknya yang relatif dekat dengan Jakarta sehingga dengan cepat pemerintah daerah dan pimpinan BKR/TKR dapat mengkonsolidasi anggota pasukannya. Penulisan ini menggunakan metode kepustakaan dan historiografi yang dihasilkan bersifat deskriptif analisis. Untuk mendukung penulisan ini digunakan teori konfrontasi. The resistance of fighters (paramilitary troops, BKR then the TKR) with the Japanese military in Indonesia was marked by events of disarmament by fighters. Various incident occurred just due to Japan showed a firm stance in colonizing, suddenly all changed with the attitude of surrender to the Allies. For Indonesia, this condition was actually an opportunity to equip themselves in terms of armaments that became an asset to the troops for war. But it was difficult because according to the rules of international law concerning prisoners of war, not only Japanese forces but also entirety of the war equipment were also should be handed. Some areas could receive or seize such weapons, but was later recaptured by the Japanese military. Japanese military retained their weapons and abided by the 1929 Geneva Convention, dealing with the spirit of independence of the entire people of Indonesia. In West Java, the disarmament incident had occurred but did not extend, unlike in East Java, where nearly all of the fighters had looted weapons. The difference lied in the slow of turning up information from central government to the regions. West Java had benefit because it was relatively close to the Jakarta, so the local government and the leadership of BKR / TKR could quickly consolidate the fighters. This study uses literature and historiography that produces a descriptive analysis. To support this study, the theory of confrontation is used.

Keywords