Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum (Apr 2014)

Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik terhadap Laporan Delegasi Republik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Implementasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

  • Wisnu Aryo Dewanto

DOI
https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a4
Journal volume & issue
Vol. 1, no. 1
pp. 57 – 77

Abstract

Read online

Abstrak Laporan Delri yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia sehingga substansi ICCPR dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional tanpa memerlukan peraturan pelaksana. Selain itu, dikatakan pula bahwa Mahkamah Konstitusi telah merujuk secara langsung pada Pasal 2 ICCPR dalam beberapa putusannya seperti putusan untuk kasus Nomor 101/PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap UU Advokat Nomor 18/2003 dan putusan untuk kasus Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang Pengujian terhadap UU Pemda Nomor 32/2004 sebagaimana yang telah diamandemen oleh UU Nomor 12/2008. Sayangnya, Pasal 2 ICCPR tersebut pada kenyataannya tidak dapat diterapkan sebagai rujukan langsung dalam putusan-putusan pengadilan karena substansi pasal ini tidak mengatur hak dan kewajiban individu, tetapi negara. Pasal 2 ICCPR sebenarnya hanya ingin menjelaskan status hukum dari ICCPR bagi negara-negara pihak. Secara filosofis, Pasal 2 ICCPR menyatakan bahwa ICCPR bukanlah perjanjian internasional yang dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional negara-negara pihak karena keberlakuannya memerlukan peraturan pelaksana, yaitu berupa undang-undang. Dalam praktiknya, Indonesia menganut model dualisme dengan pendekatan transformasi dalam penerapan perjanjian internasional di level nasional. Semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus ditransformasikan ke dalam undang-undang agar dapat digunakan oleh hakim karena hakim hanya terikat oleh peraturan hukum yang dibuat oleh DPR dan perjanjian internasional hanya dapat diterapkan melalui metode interpretasi hukum. Abstract The initial report, submitted by the Government of the Republic of Indonesia to the UN Human Rights Commitee in 2013, stated that the ICCPR—which Indonesia has ratified, is part of the domestic law of Indonesia. It, therefore, can be directly applied in municipal courts without previous establishment of an implementing legislation. It has also been stated that the Constitutional Court of Indonesia has made a direct reference to the Article 2 of the ICCPR; for instance in the case Number 101/PUU-VII/2009 regarding judicial review on the Advocate Act Number 18/2003, and the case Number 73/PUU-IX/2011 regarding judicial review on the Regional Government Act Number 32/2004 as amended by the Act Number 12/2008. The writer argues that the Article 2 of the ICCPR cannot be used as a direct reference as the article is intended only to govern the rights and duties of states, not individuals. In other words, the ICCPR governs the rights and duties of the State Parties. Specifically, this article stipulates that the ICCPR is a non-self-executing treaty because it needs an implementing legislation for its implementation at the municipal level. The writer is holds the opinion that Indonesia applies a model of dualism with a transformational approach to implement treaties in municipal courts. Consequently, all ratified treaties need to be transformed into Acts of Parliament in order to be implemented by judges because they are only bound by laws enacted by the Parliament (DPR). Hence, judges may apply international law through legal interpretation.

Keywords