Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum (Dec 2015)

Editorial: Politik Hukum Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014: Desentralisasi atau Re-Sentralisasi?

  • Atip Latipulhayat

DOI
https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a0
Journal volume & issue
Vol. 2, no. 3

Abstract

Read online

Para pakar sering memandang hubungan antara desentralisasi teritorial dan sentralisasi dalam praktik negara kesatuan sebagai makna dinamik, ibarat “pendulum/bandul yang berayun” dari sentralisasi (memusat) ke desentralisasi (mendaerah) demikian seterusnya untuk mencari kesembangan (Mawhood: 1984, B.C. Smith: 1985, Bagir Manan: 1999). Secara terminologis pun, metafor “desentralisasi” tidak akan pernah muncul tanpa terlebih didahului munculnya konsep “sentralisasi” dalam pembagian kekuasaan negara secara vertikal. Campur tangan pusat dalam pemerintahan di daerah tidak dapat dihindari 100 %,bahkan dalam pemerintahan yang paling desentralistik sekalipun. Di sisi lain, sistem sentralisasi “murni” dalam hubungan pusat – daerah ditolak sebagai pendekatan utama, terutama sejak sistem demokrasi dianggap sebagai model pemerintahan yang paling banyak diterima banyak negara. Dengan kata lain, desentralisasi telah menjadi pendekatan utama dalam pemencaran kekuasaan secara vertikal sebagai cermin dari prinsip “partisipasi” – yang merupakan salah satu prinsip demokrasi - dari aras lokal.