Sari Pediatri (Nov 2016)

Skrofuloderma pada Anak: Penyakit yang Terlupakan?

  • Johnny Nurman,
  • Darmawan B. Setyanto

DOI
https://doi.org/10.14238/sp12.2.2010.108-15
Journal volume & issue
Vol. 12, no. 2
pp. 108 – 15

Abstract

Read online

Skrofuloderma atau tuberkulosis kulit sering mengalami keterlambatan dalam diagnosis baik pada negara berkembang ataupun industri dewasa ini. Seorang anak perempuan umur 13 tahun 6 bulan dirujuk dengan keluhan utama pasca biopsi benjolan di leher dan ketiak kanan. Pasien menderita kelainan pada regio servikalis, submandibula dan aksila dekstra berupa benjolan sebesar telur puyuh, keras, tidak nyeri dan terfiksasi dan lesi plak eritematosa dengan pinggir kebiruan dan hiperpigmentasi berukuran 1x1 cm sampai 5x 10 cm, bentuk tidak teratur, tersusun linier, berbatas tegas. Benjolan dikeluhkan sejak 4 tahun yang lalu dan memburuk sesuai perjalanan waktu. Kuku jari tangan tampak berwarna kuning kecoklatan dan mengeras dengan permukaan yang tidak merata. Konsultasi kepada dokter telah dilakukan namun orang tua pasien tidak pernah dijelaskan mengenai penyakit yang diderita anaknya. Pengobatan dengan obat yang tidak jelas dan perawatan luka dilakukan pada setiap konsultasi. Riwayat tuberkulosis dalam keluarga disangkal namun tetangga pasien diketahui menderita batuk berdarah. Hasil uji Mantoux memperlihatkan bula berdiameter >15 mm, kemudian pecah dan menjadi lesi ulkus setelah 2 minggu. Hasil biopsi kulit menunjukkan seluruh dermis dipadati oleh sel radang terutama limfosit, sel plasma polimorphic multiple nucleous (PMN), dan tampak sel-sel epiteloid dan sel datia Langhans; juga daerah yang granulomatus. Kultur jaringan setelah 8 minggu, memperlihatkan hasil biakan positif Mycobacterium tuberculosis, apusan sedian langsung tidak ditemukan kuman tahan asam, tetapi uji niasin positif. Berdasarkan telaah dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, dapat disimpulkan diagnosis skrofuloderma, gizi kurang, perawakan pendek karena penyakit kronis, tersangka anemia defisiensi besi, dan onikomikosis. Pasien mendapat terapi obat anti tuberkulosis per oral dengan isoniazid 1 x 200 mg/hari dan rifampisin 1 x 300 mg/hari selama 6 bulan, pirazinamid 1 x 400 mg/hari dan etambutol 1 x 500 mg/hari, selama 2 bulan pertama dan menunjukkan penyembuhan. Pasien dipantau lebih lanjut untuk masalah nutrisi dan perawatan pendek di poliklinik IKA RSCM.

Keywords