Jurnal Madania (Jul 2022)

Reconstruction of the Makar and Relevance with the concept of al-Baghyu in the Fikih Jinayah

  • Musda Asmara

DOI
https://doi.org/10.29300/madania.v26i1.6605
Journal volume & issue
Vol. 26, no. 1
pp. 13 – 24

Abstract

Read online

The 2019 General Election (Pemilu, Indonesia) divided Indonesian society into two sides, namely the #2019GantiPresiden and the #Jokowi2Periode. The situation between the two sides was tense, which could potentially cause a commotion and worsen the public's situation. Supporters of Jokowi's camp describe the #2019GantiPresiden movement as an attempt to commit makar (treason) against the legitimate government, while the government's opposing side describes the accusation of treason as a violation of democratic freedoms. Based on the foregoing, the question arises as to whether going against the government can be considered makar, which is a criminal act. This study is a type of normative research that uses library research to collect data. This study concludes that opposing the government (Oposisi) or criticizing the government is not makar, but rather the right to free expression. Makar as a negative brand image should not exist in a democratic post-reform environment. It should be used sparingly so that there is no arbitrariness that violates human rights. This corresponds to the definition of al-bughah in Islamic criminal law. Pemilihan umum (Pemilu) pada tahun 2019 telah memecahkan masyarakat dengan dua kubu/ dua gerakan, yaitu gerakan #2019GantiPresiden dan gerakan #Jokowi2Periode. Situasi pun mencekam antara kedua belah pihak yang berpotensi mengarah kepada keributan, dan menyebabkan kondisi masyarakat semakin memanas. Pendukung kubu Jokowi menyebut gerakan #2019GantiPresiden merupakan upaya makar terhadap pemerintahan yang sah, sementara kubu diseberang pemerintah (oposisi) menyebut tuduhan makar tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan demokrasi. Berdasarkan latar belakang diatas timbul pertanyaan apakah bersebrangan dengan pemerintah dapat dikatakan sebagai makar yang merupakan tindak pidana? Penelitian ini termasuk jenis penelitian normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelusuran kepustakaan (method of library). Penelitian ini menyimpulkan bahwa bersebrangan dengan pemerintah (oposisi) atau mengkritik pemerintah belum bisa dimaknai sebagai makar melainkan hak kebebasan berpendapat. Makar sebagai brand image negative tidak sewajarnya muncul dalam suasana berdemokrasi pasca reformasi. Seharusnya makar dimakanai secara limitative agar tidak ada kesewenang-wenangan yang merugikan hak asasi manusia. Hal tersebut sejalan dengan makna al-bughah dalam hikum pidana Islam.

Keywords