Jentera: Jurnal Kajian Sastra (Aug 2017)

POLITIK MASYARAKAT, NEGARA, DAN KESENIAN

  • Aprinus Salam

DOI
https://doi.org/10.26499/jentera.v3i1.429
Journal volume & issue
Vol. 3, no. 1

Abstract

Read online

This paper explores how post-New Order Indonesia has seen a declined emphasis on government legitimization and an increased emphasis on the power of the populace. In this situation, the populace (society) has the opportunity to perform articulation and politicization from a variety of aspects. Society redefines and reidentifies itself through various negotiations of primordiality, locality, nationality, and globality. Many groups take their own initiative and use their own methods to reach their goals and protect their interests. In creating art, society is generally oriented towards art as business or a politicaleconomic act, such that the role of art in promoting social and national development is considered insignificant. The State is impeded in determining its own capacity, competence, and authority. Society acts "without control", or more specifically without control from the State. The numerous dichotomies in society continually create opposition and conflict, which stunts the development process. The State should be able to diffuse these various dichotomies by utilizing alternative spaces, third spaces - such as art and literature. In these alternative spaces, it is hoped that negotiation and consolidation can be conducted in a more democratic and dignified manner. Abstrak Tulisan ini berusaha menjelaskan bahwa pada masa pasca Orde Baru negara mengalami penurunan legitimasi dan posisi masyarakat menguat. Dalam situasi itu, masyarakat mendapat kesempatan untuk melakukan berbagai artikulasi dan politisasi dalam berbagai aspeknya. Masyarakat mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya kembali dalam berbagai negosiasi primordialitas, lokalitas, nasionalitas, dan globalitas. Banyak kelompok warga mengambil inisiatif dan cara sendiri-sendiri dalam mencapai tujuan dan kepentingannya. Dalam praktik berkesenian, masyarakat mengambil inisiatif lebih dalam orientasi bisnis atau politik-ekonomi sehingga partisipasi kesenian dalam proses peningkatan kualitas bermasyarakat dan bernegara dianggap tidak signifikan. Negara mengalami kegagapan dalam menentukan kapasitas, kompetensi, dan otoritas dirinya. Masyarakat berjalan “tanpa kontrol” yang berarti dari negara. Berbagai dikotomi dalam masyarakat terus memicu berbagai pertentangan dan konflik yang tidak kondusif bagi proses pembangunan. Hal yang selayaknya dimainkan oleh negara adalah mencairkan berbagai dikotomi tersebut dengan memanfaatkan ruang alternatif, ruang ketiga, dalam hal itu ruang kesenian/sastra. Dalam ruang alternatif tersebutlah berbagai negosiasi dan konsolidasi diharapkan dapat terjadi secara lebih demokratis dan bermartabat.

Keywords