Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum (Apr 2014)
Kewenangan KPK untuk Melakukan Penyidikan dan Penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Abstract
Abstrak Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) tidak hanya untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tetapi juga untuk mengembalikan keuangan negara yang disebabkan oleh TPK. Salah satu upaya untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap TPK adalah dengan mengatur kewenangan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk penyidik tindak pidana asal (Kejaksaan dan KPK) dalam UU TPPU. Namun, dalam praktik kewenangan penyidikan terhadap TPPU (Pasal 74 UU TPPU) telah menimbulkan permasalahan hukum khususnya mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU dalam kerangka pemberantasan TPK. Kewenangan penyidikan terhadap TPPU yang diberikan kepada KPK sangat pen_ng dalam pemberantasan TPK. TPK sebagai predicate crime memiliki kaitan erat dengan TPPU sebagai proceeds of crime. Pelaku TPK yang memiliki tujuan untuk memperoleh harta kekayaan secara ilegal umumnya melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Dengan adanya kewenangan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU, KPK dapat melacak harta kekayaan pelaku berdasarkan hasil penyidikan TPK dan sebaliknya melakukan penyidikan terhadap TPK berdasarkan hasil penyidikan terhadap TPPU dengan menggunakan paradigma follow the money. Walaupun KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU sehingga dapat mengoptimalkan penegakan hukum terhadap TPK, tetapi tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan dalam UU TPPU menimbulkan masalah dalam penegakan hukum terhadap TPK baik efektivitasnya maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Mengingat KPK dalam UU TPPU tidak secara tegas diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU maka penuntutannya harus dilakukan melalui Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan baik menurut KUHAP maupun UU Kejaksaan. Oleh karena itu, masalah koordinasi menjadi masalah penting dalam upaya pemberantasan TPK. Abstract Corruption eradication measures are made not merely to punish the perpetrator, but also to recover the assets of the State, lost because of the corruption. One of the efforts to make law enforcement to combat corruption more effective is by regulating the authority of the Prosecutor and Corruption Eradication Commission (the CEC) as predicate investigators of crime to investigate money laundering under the Anti-Money Laundering Law. However, in practice, the authority to investigate money laundering (Article 74 Anti-Money Laundering Law) has raised some issues, especially about the authority of the CEC to prosecute money laundering. The prosecutor and the CEC's authority of investigation in money laundering are important to combat corruption. As predicate crime, corruption is connected to money laundering as one procedure of the crime. The purpose of the perpetrators of money laundering is to illegally enrich themselves by concealing or disguising the money. With the authority of the Prosecutor and the CEC to investigate money laundering, they can trace the perpetrator's wealth according to the corruption investigation's result. Otherwise, the Prosecutor and the CEC can conduct investigation of corruption according to the money laundering investigation's result by using follow the money paradigm. However, the Prosecutor and the CEC's authority are still insufficient to combat money laundering. It is because the CEC does not have the authority to prosecute money laundering. In practice, the coordination between the two institutions is becoming an issue. Therefore, in order to deal with the issue, the authority to prosecute money laundering should ideally be done by the Prosecutor according to Anti-Money Laundering Law and Indonesian Procedural Law.
Keywords