Jurnal Konstitusi (Jan 2018)
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Abstract
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 74/PUU-XII/2014 meninggalkan harapan yang belum terpenuhi, yakni rumusan standar konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Makalah ini akan menjawab alasan mengapa MK menolak merumuskannya? dan bagaimana standar konstitusional yang bisa dirumuskan? MK menolak permohonan pemohon judicial review untuk menjadikan kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya standar pemberian dispensasi umur perkawinan. Penolakan ini mengisyaratkan MK menganggap bahwa hal itu merupakan open legal policy; suatu saat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat. MK juga tidak menggunakan UUD 1945 untuk merumuskan rumusan standar konstitusional dispensasi perkawinan karena hal itu harus ditempuh melalui legislative review. Sebagai tawaran dari penulis dalam legislative review, standar konstitusionalnya bisa dirumuskan melalui pendekatan hukum non sistematik dan pembacaan maqashid syari’ah. Pertimbangannya harus memperhatikan perlindungan kepentingan agama (Pasal 28E ayat (1) UUD 1945), kepentingan kepastian hukum bagi pelaku (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), kebebasan kehendak dan keyakinan (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945), kepentingan kesejahteraan hidup (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945), dan hak asasi yang dimiliki keturunan (Pasal 28B ayat (1) UUD 1945). The decision of Constitutional Court Number 74/PUU-XII/2014 leaves the unmet expectations, which is the standard for an exemption in marital age. The paper will provide the answer to the reason why the Court refused to set the standard? And how the Court should formulate it as the constitutional standards? The Court rejected the petitioner arguments in the judicial review case to make pre-marital pregnancy as the only standard to set an exemption of marital age. It suggests that the Court considers it is an “open legal policy”; where the policy may change according to the needs of society. The Court also did not use the Constitution to give the interpretation on the constitutional standard in marital exemption because it must be pursued by way of review by the parliament. The author offers, in term of legislative review, that the standards can be formulated through a non-systematic legal approach and the interpretation of maqashid syari’ah. The arguments should pay attention to the protection of religious interests (Article 28E (1) of the Constitution), the interests of legal certainty of the citizens (Article 28D (1) of the Constitution), free will and belief (Article 28E (2) of the Constitution), the welfare (Article 28H (1) of the Constitution), and the rights of descendants (Article 28B (1) of the 1945 Constitution).
Keywords