Jurnal Litigasi (Mar 2016)
KONFLIK BERSENJATA DI SABAH DAN PENYELESAIANNYA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Abstract
This articles reveals that Sabah is legally recognized as a part of Malaysian integrated territory. This fact is not only found due to historical and legal basis on uti posidetis juris principle, but also because the UNO confirmed it by conducting referendum in Sabah and Sarawak 1963. Eventhough arm conflict in Sabah is not categorized as international conflict, the Geneva Convention 1949, Protocol II 1977, and International Human Rights Convention can be applicable to examine the arm conflict in Sabah. The inclusion of combatants, weapon used, victims and causalities, have been contributed in significant to identify the arm conflict. As a result, this arm conflict in Sabah has open an opportunity for the involved parties, not only the Malaysian Government can be brought in International Court of Justice for the violent of Geneva Convention and Human Rights, but also the Sultan Sulu followers could also be brought into national court, for the imigration infringement, and ISA as well Terrorist Act. Nonetheless, there will be an opportunity for the Sultan Sulu to sue the government of Malaysia to claim the rights of private property. Keywords: International Arm Conflict; Territorial integrity; Legal Responsibility ABSTRAK Tulisan ini menunjukan bahwa Sabah secara hukum diakui sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Malaysia. Fakta tersebut tidak hanya ditemukan dalam sejarah dan dasar hukum, serta prinsip uti posidetis juris. Tetapi juga Perserikatan Bangsa-bangsa menguatkannya melalui penyelenggaraan referendum di Sabah dan Sarawak tahun 1963. Konflik bersenjata di Sabah tidak dapat dikategorikan dalam konflik internasional dan konflik non-internasional. Namun, Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan II 1977, dan Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia dapat diterapkan dalam peristiwa konflik bersenjata di Sabah. Adanya Kombatan, penggunaan senjata, dan korban jiwa, secara signifikan dapat diidentifikasi sebagai konflik bersenjata. Konsekuensi hukumnya, konflik bersenjata di Sabah dapat membuka peluang bagi beberapa pihak terlibat dimintai pertanggungjawaban hukum. Tidak hanya Pemerintah Malaysia yang dapat dibawa ke hadapan Mahkamah Internasional atas pelanggaran Konvensi Jenewa dan Hak Asasi Manusia. Tetapi juga, pihak pengikut Kesultanan Sulu dapat dibawa ke peradilan nasional atas tindakan pelanggaran keimigrasian, dan juga pelanggaran atas Undang-undang Keamanan Nasional (Internal Security Act) sebagaimana halnya dengan Undang-undang Terorisme. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan pihak Kesultanan Sulu dapat menuntut Pemerintahan Malaysia atas sengketa hak peralihan keuntungan bersifat keperdataan yang menjadi klaim dalam konflik bersenjata. Kata kunci : Konflik bersenjata internasional; kedaulatan wilayah; pertanggungjawaban hukum