DiH (Feb 2023)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Abstract
Judicial acts of corruption in Indonesia are not fully carried out in accordance with applicable legal norms, caused by deviations from norms so that collusion occurs. As a result of the legal discrepancy in the implementation of the corruption trial, the community loses accountability and doubts the credibility of state officials in enforcing the law on corruption. Positive law regulates material corruption which is more profitable for corruptors so that the implementation of a simple, fast and low-cost, collusion-free judiciary cannot be carried out. Since Perma No.1/2020 was promulgated, it has not reduced the criminalization of corruption cases in terms of light sentences, which should have been eradicated in extra ordinary measures. Corruption trials have precedents in the form of decisions by previous courts that create legal loopholes for judges to determine the same decision, namely light sentences against perpetrators of corruption. The researchmethod used in this research is normative legal research and uses a research approach including statutory approach, conceptual approach, and case approach. The results of this study indicate that Perma No.1/2020 has no value of justice from a societal perspective and after theSupreme Court regulation was promulgated for more than a year it is known that this regulation is optional and does not bind judges to be guided by Perma No.1/2020. Therefore, Perma No.1/2020 must have its material formulation changed and judicially reviewed by thesupreme court with the aim of Perma No.1/2020 the normative material is more proportional, of better quality and produces decisions withoutdisparities in corruption cases with the same characteristics to realize future rule of law. Keywords: criminal guidelines; Supreme Court regulations; value of justice Abstrak Peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, disebabkan oleh penyimpangan norma sehingga kolusi terjadi. Akibat dari kesenjangan hukum pada implementasi peradilan tindak pidana korupsi masyarakat kehilangan akuntabilitas dan meragukan kredibilitas aparat negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hukum positif mengatur korupsi materinya lebih menguntungkan terhadap pelaku korupsi sehingga implementasi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan bebas kolusi tidak dapat terlaksana. Semenjak Perma No.1/2020 diundangkan juga tidak membuat pemidanaan kasus korupsiberkurang dalam aspek vonis ringan yang seharusnya pelaksanaan pemidanaan kasus korupsi diberantas secara extra ordinary measures. Peradilan tindak pidana korupsi memiliki preseden berupa putusan oleh pengadilan terdahulu membuat celah hukum bagi hakim untuk menetapkan putusan yang sama yaitu vonis ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif serta menggunakan pendekatan penelitian meliputipendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perma No.1/2020 tidak memiliki nilai keadilan dalam perspektif masyarakat dan setelah peraturan mahkamah agung ini diundangkan lebih dari satu tahun diketahui bahwa regulasi ini fakultatif dan tidak mengikat hakim untuk wajibberpedoman pada Perma No.1/2020. Oleh karena itu, Perma No.1/2020 harus dirubah rumusan materinya dan di judicial review olehmahkamah agung dengan tujuan Perma No.1/2020 materi normanya lebih proporsional, berkualitas dan menghasilkan putusan tanpa adanya disparitas pada kasus korupsi dengan karakteristik yang sama untuk mewujudkan supremasi hukum di masa mendatang. Kata kunci: peraturan Mahkamah Agung, pedoman pemidanaan, nilai keadilan