E-Journal of Cultural Studies (Nov 2012)
PANGGUNG BANGSAWAN STUDI POLITIK KEBUDAYAAN DI DAERAH RIAU LINGGA: PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA
Abstract
Penelitian ini membahas “Panggung Bangsawan Studi Politik Kebudayaan di Daerah Riau Lingga: Perspektif Kajian Budaya”. Panggung Bangsawan adalah teater rakyat yang pada masa Orde Lama memiliki kekuatan ritual, lalu zaman Orde Baru hampir punah. Pemerintah Orde Baru merevitalisasi teater tersebut sebagai identitas budaya Melayu tetapi bukannya berkembang, melainkan malah surut. Tujuan penelitian ini: mendeskripsikan proses munculnya Panggung Bangsawan, menjelaskan peran negara terhadap Panggung Bangsawan, dan menganalisis makna politik kebudayaan dalam kaitannya dengan identitas budaya Melayu yang baru.Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif. Peneliti menggali budaya dalam konteksnya dengan dunia nyata dan perspektif pelaku masyarakat seni. Tahap pertama, dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Tahap kedua, memilih teori untuk mengkaji data. Tahap ketiga, menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah diseleksi. Tahap keempat, melakukan penulisan dan konstruksi hasil penelitian. Teori yang digunakan: estetika, hegemoni, semiotika, dan dekonstruksi.Hasil penelitian: Pertama, proses munculnya Panggung Bangsawan, realitasnya meliputi prapentas, peristiwa pentas, dan pascapentas. Pada masa prapentas dan pascapentas ini, muncul pertarungan wacana dengan berbagai kepentingan perorangan atau kelompok. Kedua, peran negara terhadap Panggung Bangsawan, menumbuhkan hegemonisasi. Hegemoni tersebut berdampak pada pergeseran isi cerita tentang kekuasaan. Pada zaman Orde Lama, sistem politik yang berlaku mengikuti pola mechanics of power, sedangkan zaman Orde Baru mengikuti pola poetics of power. Ketiga, makna politik kebudayaan dalam kaitannya dengan identitas budaya Melayu, bahwa setelah dilaksanakan Revitalisasi Budaya Melayu 2004, pemahaman alam Melayu bergeser, mulanya memiliki batasan yang mengeras, sekarang batasan itu mencair. Identitas budaya Melayu yang baru bukan berdasarkan pada konvensi agama tertentu, melainkan lebih pluralistik.