Buletin Al-Turas (Jul 2014)

Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara: Martabat Tujuh dalam Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930)

  • Jajang A Rohmana

DOI
https://doi.org/10.15408/bat.v20i2.3760
Journal volume & issue
Vol. 20, no. 2
pp. 259 – 284

Abstract

Read online

Abstrak Paper ini membahas martabat tujuh dalam puisi dangding sufistik Haji Hasan Mustapa. Ia merupakan salah satu penerus tradisi tasawuf Nusantara dari Jawa Barat yang menulis lebih dari sepuluh ribu bait dangding. Tema martabat tujuh merupakan poros inti pembahasan dalam hampir keseluruhan puisi dangding-nya. Berbagai kesalahpahaman dan kesulitan para sarjana dalam memahami puisi Mustapa kiranya dilatarbelakangi keterbatasan pengetahuan atas ajaran ini. Kajian ini menggunakan pendekatan interteks atas sejumlah puisi Mustapa yang bertema sama. Kajian ini memfokuskan pada tiga hal: martabat tujuh dalam tradisi tasawuf Nusantara, Mustapa dan posisi dangding-nya dalam sastra Sunda, serta tema martabat tujuh sebagai inti puisinya. Mustapa kiranya dipengaruhi ajaran wahdatul wujud terutama melalui kitab Tuh}fah-nya Al-Burhanfuri. Meski demikian, ia berusaha menjejakkannya dalam latar kekayaan budayanya. Ia menginterpretasikan martabat tujuh, bukan semata-mata sebagai sintesis tajalli Ilahi, tetapi juga merupakan hasil upaya manusia dalam meningkatkan martabat rohani untuk pulang ke tempat di mana ia berasal (nepi kana urut indit). Karenanya tidak tepat bila ia dianggap menyimpang dari nilai-nilai ortodoksi Islam. Ia berada pada arus utama tasawuf Nusantara yang cenderung rekonsiliatif. Signifikansi Mustapa terletak pada kreatifitasnya dalam menggunakan banyak metafor budaya Sunda termasuk dalam menafsir ajaran martabat tujuh. Ia misalnya, menggunakan metafor tubuh (balung, daging, sungsuam, getih), makanan (rujak), sungai (leuwi), dan bukit (lamping) untuk menggambarkan proses panjang dalam meracik asal alam kesejatian. Kajian ini signifikan dalam memperkuat tesis jaringan ulama Nusantara dalam bentuk artikulasi tasawuf lokal Sunda. Sebuah tafsir lain atas martabat tujuh yang muncul dalam rahim alam pikiran budaya Sunda. --- Abstract This paper discusses the dignity seven in metrical poetry Sufi Hasan Haji Mustapa. He is one of the successors of Sufism archipelago from West Java who wrote more than ten thousand metrical stanza. He was in the mainstream Sufism archipelago tend reconciliatory. Mustapa significance lies in creativity in using many metaphors Sundanese culture including seven in interpreting the teachings of dignity. He for instance, uses the metaphor of the body (bone, meat, sungsuam, getih), food (salad), rivers (Leuwi), and Hill (lamping) to describe the lengthy process of preparing the authenticity of natural origin. This study is significant in strengthening the network of scholars Nusantara thesis in the form of Sufism articulation of local Sundanese.

Keywords