Jurnal Penelitian Hukum De Jure (Aug 2016)
IMPLIKASI HUKUM PEMBERIAN KREDIT BANK MENJADI TINDAK PIDANA KORUPSI (Legal Implications of Bank Loans Turn into Corruption)
Abstract
The credit of bank has the potential of misusing or abusing by parties whose not responsible for getting profit or benefit, unlawfully. The parties can be internal or external persons such as bank officers, board members of bank, commissioners, stakeholders and bank customers. Misuses in bank loaning can be a criminal offense of banking if the board of members or officers do not obey the rule of the banking concerning the principles of prudential and appraisal, carefully. Lately, in practice, it can be a criminal offense or criminal act. It is a question, do a sentence of corruption criminal act into jail to the board of members and bank consumer is right measures? ?. Is criminal punishment against customers effective in handling bad debts ? Criminalization of corruption to them by engaging the Act of Corruption Criminal Act against to the Act of Banking that has ruled board of members in article 50 with imprisonment. It can be double standards in a completion of bad credit that funded by state finances and privates. Therefore, the Corruption Act may not be used in the settlement of bad loans to private banks. The settlement of bad loans based on The Act of Mortgage Right which guarantee the land rights of the debtor as debt repayment. The law should be bound up to avoid uncertain of law. Keywords: credit loan, corruption and completin of bad debts. ABSTRAK Pemberian kredit bank berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan secara melanggar hukum. Pihak-pihak yang dimaksud adalah mereka yang dalam prakteknya bersentuhan dengan bank baik yang meliputi pihak internal maupun pihak eksternal bank, misalnya pegawai bank, anggota direksi bank, anggota dewan komisaris bank, pemegang saham bank dan nasabah bank. Bentuk penyimpangan dalam pemberian kredit dapat menjadi tindak pidana perbankan, apabila direksi bank atau pegawai di dalam pemberian kredit tidak mengindahkan ketentuan perbankan mengenai prinsip kehatian-hatian dan asas-asas perkreditan serta tidak melakukan penilaian yang seksama mengenai nasabah. Namun prakteknya akhir-akhir ini, penyimpangan pemberian kredit pada bank yang dibiayai dari keuangan negara, yang seharusnya merupakan tindak pidana perbankan berubah menjadi tindak pidana korupsi. Menjadi pertanyaan, apakah penjatuhan hukum tindak pidana korupsi terhadap direksi dan nasabah bank merupakan langkah tepat?. Apakah penjatuhan pidana terhadap nasabah cukup efektif dalam menanggulangi kredit macet?. Penjatuhan pidana korupsi pada direksi bank dengan menggunakan UU Tipikor bertentangan dengan UU Perbankan yang telah mengatur perbuatan hukum direksi dalam Pasal 50 UU Perbankan dengan ancaman penjara. Demikian juga penjatuhan pidana korupsi pada nasabah bank akan menimbulkan standar ganda dalam penyelesaian kredit macet pada bank yang dibiayai dari keuangan negara dengan bank swasta. Sebab, UU Tipikor tidak mungkin digunakan dalam penyelesaian kredit macet pada bank swasta. Pada hal sebelum adanya UU Tipikor, penyelesaian kredit macet dilakukan berdasarkan UU Hak Tanggungan dimana jaminan hak atas tanah debitur dijadikan sebagai jaminan dalam pelunasan hutangnya. Seharusnya hukum atau undang-undang harus diberlakukan mengikat secara umum tidak dipilah-pilah agar terjadi kepastian hukum. Kata kunci: Pemberian kredit, korupsi dan penyelesaian kredit macet.
Keywords