Buletin Al-Turas (Jul 2017)
GELIAT EKONOMI KELAS MENENGAH MUSLIM DI CIREBON: DINAMIKA INDUSTRI BATIK TRUSMI 1900-1980
Abstract
Abstract Talking about the area of Cirebon is often the main attraction. Not only in geographical position as coastal area, also often referred to as old city of sultanate heritage and heritage of the guardian (wali songo). In this case almost all cultures present in Cirebon people always regarded as a legacy of the empire or the trustees. The assumption above a certain position is viewed objectively based on evidence and historical data can be proved. Other things, armed with the title 'city prawns', indicating Cirebon city people have an open nature receptive culture into the life environment. Habits of the people who live in coastal areas have the ability to pursue its economic life endures, even when in a state of crisis. Although the capacity is still far below the Chinese people as a class number two after Europeans, in the social stratification, in the colonial period. This is because the Chinese are always given a better chance by the Dutch Indies government than the indigenous people. However, indigenous communities in Cirebon suggest that the majority of Muslims living in the sultanate's heritage area are not always in a state of weakness and invincible with the atmosphere of such economic competition. In such conditions, this paper would like to explain about the twisted economy of Muslims in Cirebon on three times, from the colonial period, the Old Order and New Order. Especially the economics of the santri in Trusmi village, Weru sub-district, Cirebon regency. The location of this area about 5 km west of the town of Cirebon is geographically located at coordinates 06˚ 41 '59.8' 'LS and 108˚ 30' 48 '' BT. Keywords: Cirebon, Economic, Batik Trusmi, 1900-1980 ---------------------------------------------------------------------------------------- Abstrak Berbicara tentang daerah Cirebon seringkali menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya dalam posisi geografis sebagai daerah pesisir, juga seringkali disebut sebagai kota tua warisan kesultanan dan warisan para wali (wali songo). Dalam hal ini hampir semua budaya yang hadir pada masyarakat Cirebon selalu dianggap sebagai warisan kesultanan dan atau para wali. Anggapan di atas pada posisi tertentu dipandang objektif berdasarkan bukti-bukti dan data sejarah yang dapat dibuktikan. Hal lainnya, berbekal sebutan ‘kota udang’, kota Cirebon mengindikasikan masyarakatnya memiliki sifat terbuka yang mudah menerima budaya yang masuk ke dalam lingkungan kehidupannya. Kebiasaan masyarakat yang hidup di daerah pesisir memiliki kemampuan mengupayakan kehidupan perekonomiannya tetap bertahan sekalipun saat dalam keadaan krisis. Kendati kemampuannya masih jauh di bawah orang-orang Cina sebagai kelas nomor dua setelah bangsa Eropa, secara stratifikasi sosial, pada masa kolonial. Hal ini karena orang-orang Cina selalu diberi kesempatan yang lebih baik oleh pemerintah Hindia Belanda dibanding dengan masyarakat pribumi. Walau demikian, masyarakat pribumi di Cirebon mengisyaratkan bahwa mayoritas muslim yang tinggal di daerah warisan kesultanan ini tidak selalu dalam keadaan lemah dan terkalahkan dengan suasana persaingan perekonomian seperti itu. Pada kondisi yang demikian itu, tulisan ini ingin menjelaskan tentang geliat perekonomian umat Islam di Cirebon pada tiga zaman, dari masa kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru. Khususnya perekonomian kaum santri di desa Trusmi Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon. Lokasi daerah ini sekitar 5 km sebelah barat Kota Cirebon yang secara geografis terletak di koordinat 06˚ 41’ 59,8’’ LS dan 108˚ 30’ 48’’ BT. Kata Kunci: Cirebon, Ekonomi, Batik Trusmi, 1900-1980 DOI : 10.15408/bat.v23i2.6114
Keywords