Jurnal Tarbiyatuna (Jun 2016)
Merumuskan Kembali Teologi Hubungan Lintas Agama Di Tengah Pengalaman Kemajemukan (Sebuah Pendekatan Terhadap Ayat Makkiyyah dan Madaniyyah)
Abstract
Pluralitas iman adalah fakta kehidupan yang tidak bisa dihindari karena merupakan desain Tuhan. Dilihat dari perbedaan cara pandang dan sikap manusia terhadap fakta kemajemukan agama ini, adan 3 corak teologi hubungan lintas agama yaitu; 1). Eksklusivisme, 2). Inklusivisme; dan 3). Pluralisme. Ekslusivisme merupakan karakteristik dari kebanyakan umat beragama yang berpandangan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada di dalam agamanya sendiri, karena itu orang beragama lain harus ditobatkan. Inklusivisme adalah sikap dan pandangan terbuka yang melihat bahwa agama-agama lain di luar agamanya juga berhak untuk diberi ruang untuk eksis, sehingga tidak tertutup adanya dialog dan kerjasama. Sedangkan pluralisme merupakan pandangan yang mengusung konsep relativisme kebenaran dan semangat kesetaraan dalam beragama. Dalam konteks pluralitas agama ini, sejak awal al-Qur’an telah membangun worldview sendiri yang dapat dicermati sejak periode makkah yang terwakili dalam QS Al Kafirun hingga periode Madinah diantaranya pada QS Al-Baqarah:62, QS Ali-Imran:64 , QS Al-Maidah:51. Dari ayat-ayat tersebut dapat diambila nilai-nilai bahwa dalam urusan yang menyangkut iman, Islam sejak awal bersikap eksklusiv dan menolak tawaran pluralisme agama yang berpandangan pada relativisme kebenaran, tapi sejak awal pula Islam memberi ruang bagi adanya eksistensi keimanan lain untuk saling hidup berdampingan, saling dialog dan diskusi dalam konteks membuka ruang hubungan kemanusiaan. Perbedaan iman tidak dijadikan justifikasi yang menghalangi antar pengikut iman yang berbeda untuk merajut kerja-kerja kemanusiaan, dialog dan kerjasama dalam kebajikan sebagaimana dipraktekan Nabi pada periode Madinah, dimana toleransi, ko-eksistensi, bahkan pro-eksistensi antar agama ditumbuhkan.