Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya (Sep 2018)

DINAMIKA TATA NIAGA KOPRA DI MINAHASA (1946-1958)

  • Hasanuddin Anwar

DOI
https://doi.org/10.30959/patanjala.v10i2.381
Journal volume & issue
Vol. 10, no. 2
pp. 235 – 250

Abstract

Read online

Telah menjadi ingatan kolektif masyarakat Minahasa bahwa tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks ini, pengolahan kelapa menjadikan kopra merupakan produk penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan pembangunan di daerah Minahasa. Setelah Indonesia merdeka, terjadi perebutan monopoli tata niaga kopra baik melalui Pemerintah Pusat (Jakarta), Pemerintah Daerah (Minahasa), maupun militer (Teritorium VII Wirabuana). Hal ini menyebabkan tata niaga kopra semakin tidak terkendali. Ekspor kopra yang diharapkan dapat memberikan kontribusi ekonomi berubah menjadi masalah politik setelah munculnya peristiwa Permesta. Mengacu pada masalah tersebut, artikel ini bertujuan mendeskripsikan kondisi historis tata niaga kopra di Minahasa tahun 1946-1958. Secara metodologis, artikel ini merupakan studi yang bertumpu pada penelitian pustaka dan arsip. Akhirnya artikel ini menghasilkan kesimpulan bahwa kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengatur tata niaga kopra menimbulkan kekecewaan dan diskriminasi bagi masyarakat Minahasa. Timbulnya kekecewaan masyarakat Minahasa menyebabkan tata niaga kopra sebagai kekuatan ekonomi berubah menjadi gerakan politik anti Pemerintah Pusat. It has become a collective memory of the Minahasa community that coconut plants (Cocos nucifera L.) are strategic commodities that have a social, cultural, and economic role in their lives. In this context, coconut processing makes copra an important product in improving the welfare of farmers and regional development. After Indonesian independence, the copra trading system being monopolized by Copra Foundation, which controlled by central government (Jakarta), local government (Minahasa), and military (Teritorium VII Wirabuana. This causes the copra trade system to become increasingly out of control and dissatisfaction of the Minahasa community. Copra as an economic power turns into an anti-Central Government political movement. There was a takeover of a number of CopraFoundation assets in Manado, and established the Minahasa Coconut Foundation. Then came the demands of regional autonomy by forming the Province of North Sulawesi. The Port of Bitung as an in-out gateway for goods, was only used for barter trade and smuggling of copra abroad, especially Singapore which involved a number of Minahasa civilian officials and military officers. Copra exports are expected to contribute economically has turned into a political problem.

Keywords