Jurnal Sosial Humaniora (Nov 2012)

PELATIHAN PARADIGMA DAN METODE PEMBELAJARAN

  • Edy Subali,
  • Enie Hendrajati

DOI
https://doi.org/10.12962/j24433527.v5i2.618
Journal volume & issue
Vol. 5, no. 2
pp. 193 – 205

Abstract

Read online

Persoalan yang dihadapi dunia pendidikan kita di antaranya sikap pembelajar terhadap proses pembelajaran relatif kuang positif. Mereka tampaknya hanya bersekolah, belum belajar. Bersekolah hanyalah seperti mengikuti tahapan-tahapan menjalani kehidupan saja, layaknya jarum jam yang bergerak tanpa ruh.Rasa ingin bisanya (tujuan psikomotor) cenderung sangat rendah. Ditandai oleh takut mencoba, takut salah, takut malu jika tidak bisa. Seolah-olah salah itu tidak boleh, pertanda bodoh bahkan goblok. Akibat lanjutannya, kebiasaan yang cenderung terbentuk adalah mencari jalan pintas, seperti menyontek, mencontoh persis, kopi-paste, “bacem”, dan membeli ke biro jasa skripsi. Bibit-bibit untuk membentuk manusia dengan karakter suka menerabas, tidak peka mutu, tidak disiplin murni bahkan watak hipokrit sudah tampak menggejala. Tidak bermental pegulat atau pengarum jeram. Bermental penerabas. Variabel yang menjadi penyebabnya tentu sangat kompleks. Jangan-jangan budaya seneoritas, feodalisme, santun ke atas telah ikut mengantar paradigma botol kosong yang harus diisi ke dalam dunia pendidikan. Guru dan sekolah layaknya penguasa yang “leluasa” membentuk, mencetak lulusan. Globalisasi menginspirasi elit pendidikan kita untuk memperbarui paradigma pembelajaran, yang berakibat pada perubahan kurikulum, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), termasuk juga pendekatan dan metode pembelajarannya. Dengan paradigma pembelajaran bahwa siswa laksana butiran emas yang masih penuh lumpur maka prinsip yang perlu dijadikan kesadaran oleh para pendidik adalah bebaskan anak-anak dari “penjajahan” sekolahan, termasuk oleh gurunya. Pendekatan penggalian dan pengembangan potensi (butiran emas) oleh dirinya sendiri secara konsistenharus ditanamkan dan digalakkan. Guru dan manajemen sekolah hanya memfasilitasi agar tercipta atmosfer pembelajaran yang menyenangkan sehingga sekolah dan ruang-ruang kelas laksana lahan subur yang di atasnya dapat tumbuh subur benih-benih unggul yang penuh potensi. Guru bukan mengisi atau mengajar, tapi mengasah, mengasuh, menyulut, menyadarkan, memakcomblangi. Iklim atau suasana pembelajaran harus menyenangkan. Berarti, (a) fasilitas pembelajaran di sekolah harus memadai, (b) jumlah siswa per kelas juga mempengaruhinya; semakin banyak jumlahnya semakin sulit mengendalikan dan membuat suasana pembelajaran menyenangkan; (c) gaya komunikasi verbal dan nonverbal oleh guru, terutama dalam proses pembelajaran harus sirkuler bukan linier, harus demokratis bukan otoriter-doktriner, harus menyenangkan bukan membosankan dan juga harus bersifat keibuan atau kebapakan bukan kelaki-lakian, keras, kaku dan menakutkan

Keywords