Informasi (Jun 2012)
Transformasi Kebudayaan Islam di Kotagede, Yogyakarta
Abstract
“ Dan Kotagede Masih Tetap “Sedakep” Sambil Tersenyum Sejuta Makna Ketika Budaya Serba Boleh Terus Mengguyur, Mengelupaskan, Merontokkan, Dan Menghayutkan Lumut-Lumut Tradisi Islami Yang Semakin Tak Kuasa Menempel..”[1] Kutipan Iklan layanan masyarakat yang mirip puisi ini, mengisaratkan adanya sesuatu yang telah dan sedang berubah pada masyarakat Kotagede. Menghadapi perubahan tersebut ada sebahagian elemen masyarakat yang merasa gelisah, mempertanyakan mengapa perubahan yang terjadi malah mengelupaskan tradisi-budaya yang Islami, yang sudah ada sebelumnya. Kebudayaan yang Islami nampakanya harus berkompetisi dengan budaya baru yang disebut dengan budaya serba boleh (permisif). Pembahasan berikut ini akan mencoba mencermati dialektika antara berbagai subklutur budaya yang ada dan berkembang di Kotagede. Pada uraian berikut ini akan dikemukakan suatu analisis dari suatu study kasus di Kotagede. Study kasus ini diperlukan untuk dapat melihat bagaimana perubahan yang terjadi pada tingkat yang lebih kecil, yakni pada level unit analisisnya komunitas tingkat Kecamatan. Pemilihan lokasi Kotagede mengingat telah ada study yang dilakukan oleh Mitsuo Nakamura, dalam konteks kepentingan penelitian ini yaitu proposisi Nakamura tentang transformasi kebudayaan yang lebih berssifat indeogonis. Transformasi kebudayaan yang berpijak pada prinsip-prinsip nilai yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Implikasi dari masyarakat yang melakukan transformasi budaya dengan model indeogonis, adalah memungkinkan tumbuh menjadi suatu masyarakat yang memiliki kemandirian, mampu menjaga jarak dari kooptasi pihak pemerintah baik kooptasi politik, ekonomi, juga budaya. [1] Iklan Layanan Masyarakat dipersembahkan oleh Panitia Penerbitan Brosur Lebaran AMM Kotagede, No.39/1421 H :111.